Ketidakadilan yang terjadi di masyarakat

Ketidakadilan Hukum di Indonesia yang Meresahkan - Kompasiana.com
   
KETIDAKADILAN HUKUM BAGI KAUM SANDAL JEPIT
Muhammad Raffi Putra Anvais
Teknik Informatika - Universitas Gunadarma


Penelitian ini bertujuan untuk bagaimana keadilan hukum bagi kaum
sandal jepit di Indonesia. Salah satu kasus yang menjadi polemic mengenai
ketidakadilan bagi kaum sandal jepit adalah kasus pencurian sandal yang
dilakukan oleh Al. Sungguh luar biasa fenomena ketidakadilan hukum di negara
kita, masyarakat sudah tidak percaya lagi pada aparat penegak hukum yang ada.
Krisi kepercayaan akan keadilan hukum semakin merajalela seiring
berkembangnya kasus-kasus pencurian kecil oleh rakyat miskin yang sangat
mendapatkan tekanan hukum yang sangat kuat, akan tetapi hukum lemah untuk
kasus-kasus besar yang merugikan negara. Untuk menegakan hukum pada masa
kini merupakan hal yang sulit. Hukum yang dibuat tidak bisa memberi keadilan,
kepastian dan kemanfaatan karena hukum tersebut tidak benar-benar ditegakkan.
Untuk mendapatkan tujuan utama dari hukum yaitu keadilan tidak dapat diperoleh
oleh masing-masing individu. Sulit untuk memberikan hukum yang adil bagi
rakyat yang tidak mampu. Keadilan hanya menjadi milik para penguasa. Agar
hukum itu menjadi adil, para penegak hukum dalam mengambil keputusan
seharusnya tidak kaku dengan hanya berlandaskan pada pasal dalam undang-
undang sebagai produk hukum tetapi juga tetapi melihat kepada keadaan
masyarakat saat itu.

 Perkembangan penerapan hukum di masyarakat pada masa kini tidak segampang menerapkan hukum pada masa dulu. Hukum sebagai aturan-aturan yang mengikat dengan tujuan memberi keadilan, kepastian , kemanfaatan serta menertibkan masyarakat tidak dapat diterapkan kepada semua individu. Hukum seakan hanya berlaku bagi masyarakat kecil dan tidak mempan bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan. Aparat penegak hukum sering tidak dapat menerapkan hukum bagi orang-orang yang salah. Bahkan undang-undang sebagai bagian dari hukum tidak
diterapkan sesuai dengan tujuannya. dibuat yaitu melindungi setiap masing- masing individu dalam mendapatkan keadilan dan haknya. Dalam hal ini sebagai hakim, terkadang mereka dituntut untuk lebih adil dalam menjatuhkan putusan bagi mereka yang yang terlibat dalam sebuah kasus. Bukan hanya sekedar menerapkan undang-undang secara kaku saja, tapi hakim juga harus melihat keadaan masyarakat pada saat itu. Dan hakim juga harus melihat siapa yang terlibat dalam kasus tersebut, apakah orang tersebut di bawah umur atau tidak. Pada kasus pencurian sandal jepit oleh AAL sangat tidak mencerminkan suatu keadilan seperti makna keadilan yang ada dari beberapa teori hukum.Briptu Rusdi Harahap sebagai aparat penegak hukum yang langsung menuduh AAL serta melakukan tindakan main hakim sendiri dan memperlakukan AAL secara semena-mena. AAL beserta temannya dipukul, ditendang, ditinju dan bahkan disekap oleh Briptu Rusdi Harahap. Hal ini sangat mencerminkan ketidakadilan, apabila jika kita bandingkan kasus-kasus AAL dengan kasus-kasus besar yang ada di Indonesia. AAL diputus oleh Pengadilan Palu, Sulawesi Tengah secara formal terbukti bersalah walaupun sandal yang menjadi barang bukti itu bukan dituduhkan oleh Briptu Rusdi Harahap. Hukum memang mengandung tiga nilai seperti yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Dari ketiga aspek ini yang menjadi prioritas pertama adalah keadilan terlebih dahulu, baru diikuti dengan kemanfaatan lalu baru kepastian. Akan tetapi pada kasus AAL ini hanya kepastian hukum yang diprioritaskan dan mengenyampingkan keadilan dan kemanfaatan. Sandal yang dicuri AAL adalah merk eiger bukan merk ando dimaksud oleh Briptu Rusdi Harahap. Sehingga sandal yang diambil oleh AAL merupakan sandal tidak bertuan. Apabila mengambil sandal yang tidak bertuan diibaratkan seperti mengambil ikan dilaut. Seharusnya AAL tidak dinayatakan bersalah. Sangat jelas terlihat bahwa hakim menyalahgunakan kekuasaannya dengan tidak memperhatikan barang bukti yang tidak sesuai dan bahkan tidak ada yang dirugikan dengan diambilnya sandal jepit tersebut . Malah sebaliknya Aal sebagai terdakwa bahkan dapat di balik yaitu sebagai korban yang dirugikan, karena sebagi seorang anak yang tidak paham haknya dalam hukum hanya menuruti perintah-perintah dari yang berkuasa. Aspek finalitas yang menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Tidak didapatkan oleh Aal sebagai korban. Sebagai anak-anak seharusnya untuk dipenuhinya aspek finalitas dan aspek kepastian Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orangtuanya. Namun, prosesnya tidak bagus. Aal diperlakukan seperti terdakwa yang telah dewasa.Dengan melihat Undang-undang Kekuasaan Kehakiman seharusnya hakim dapat menegakkan hukum yang adil berdasar Pancasila dan putusan hakim itu mencerminkan rasa keadian di masyarakat bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam kasus Aal ini hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, apakah adil menurut masyarkat apabila dalam kasus
sandal jepit yang tidak ada nilai ekonominya ini dinyatakan bersalah. Putusan hakim yang menyatakan bahwa Aal bersalah dalam kasus sandal jepit ini sungguh tidak sejalan dengan dan tidak mencerminkan dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Seharusnya putusan hakim tidak hanya mementingkan kepastian hukumnya saja akan tetapi rasa keadilan yang ada dalam masyarakat seperti yang dinyatakan pada Pasal 5 (1) diatas. Apalagi diketahui bahwa barang bukti yang ada di persidangan juga berbeda dengan apa yang didakwakan, karena yang dituduhkan adalah sandal merk Eiger sedangkan Aal mengambil sendal merk Ando bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Pasal 6 (2) bahwa seseorang tidak
dapat dipidana kecuali ada alat bukti yang sah dan dianggap harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dalam kasus Aal ini nyata-nyata bahwa fakta dipersidangan alat buktinya sudah berbeda yaitu yaitu yang di ambil Aal merk Ando
yang dituduhkan Briptu Rusdi Harahap adalah merk eiger buktinya sudah tidak sah. Sehingga dalam kasus ini, seharusnya Aal tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Karena sandal yang diambil oleh Aal adalah sandal yang tidak bertuan dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan serta menuntut Aal bertanggungjawab atas perbuatannya itu. Untuk mewujudkan keadilan di masyarakat dalam kasus sandal jepit oleh Aal ini seharusnya Aal tidak dinyatakan
bersalah. Sejalan dengan aliran Sociological Jurisprudence yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa hukum positif akan berjalan secara efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum positif hanya memilik nilai keadilan yang terbatas, sedangkan hukum yang ada dan hidup dalam masyarkat mempunyai kadar keadilan yang langgeng. Hukum yang baik harus dapat memenuhi rasa keadilan yang selalu berkembang mengikuti nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Dengan berkaca pada aliran Sociological Jurisprudence ini, diharapkan para aparat penegak hukum dapat memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat baik bentuknya tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga dalam kasus sandal jepit oleh Aal ini harus juga diperhatikan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat, apakah adil apabila seorang Aal yang mengambil sandal jepit yang tidak ada nilai ekonominya dan juga tidak bertuan itu dinyatakan bersalah  

 Penutup 

Dalam kasus Aal ini harus dilihat dari segi teori hukum tentang keadilan dari Gustav Radbruch dan John Rawl dan teori Sociological Jurisprudence yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound serta
juga diperhatikan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman itu sendiri. Berdasarkan teori hukum yang ada entang keadilan yaitu Teori dari Gustav Radbruch dan John Rawls maka dapat dilihat ketidakadilan hukum dalam kasus Aal. Pada kasus Aal hanya mementingkan kepastian hukum saja tetapi mengenyampingkan segi keadilan dan kemanfaatan. Padahal prioritas utama dalam hukum adalah keadilan. Kepastian hukum menjadi penghambat dalam mewujudkan keadilan dan kemanfaatan. Apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak, maka hukum hanya berguna bagi hukum itu sendiri, tetapi tidak berguna bagi masyarakat. Pengadilan yang merupakan tempat penegakan hukum seharusnya tidak hanya memberikan kepastian hukum, akan tetapi juga memberikan keadilan dan kemanfaatan sosial melalui putusan-putusan hakim. Berkaca dari Undang-undang Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009 sebenarnya sudah diatur secara tegas dan jelas bahwa hakim harus menegakkan hukum yang adil berdasarkan Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakim harus menggali, mengikuti dan memahami hukum dan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Putusan hakim harus bisa merestorasi keadaan serta menyeimbangkan hukum dengan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga penegakan hukum yang tercipta diarahkan pada upaya
mengukuhkan hukum dan kepastiannya dengan mengharmonisasikan kebutuhan
hukum dalam masayarkat itu sendiri. Karena hukum yang baik akan terwujud ketika hukum positif itu selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini selaras dengan aliran Sociological Jurisprudence. Yang dimana dalam aliran Sociological Jurisprudence mengharapkan hukum yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan harapan dari masyarakat. Sehingga yang diutamakan adalah kemanfaatan hukum itu sendiri bagi masyarakat agar hukum bisa menjadi hidup dalam masyarakat itu sendiri. Kegagalan mewujudkan tujuan hukum dalam kasus Aal dapat berdampak pada meningkatnya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap penata hukum dan lembaga hukum yang ada. Perhatian masyarakat pada
lembaga hukum yang ada pada saat ini berada pada titik yang lemah dimana rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum semakin merosot. Terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukumnya saja. Proses peradilan seharusnya tidak hanya menerapkan bunyi dari pasal-pasal yang ada, melainkan bekerja dengan modal empati dan keberanian. Dalam realita kehidupan pada masa globalisasi ini fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasian berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat belum bisa diwujudkan. Struktur peradilan yang formalistis belum bisa memberikan keadilan bagi rakyat kecil. Sehingga penegakan hukum tidak dapat berjalan sesuai dengan ukuran-ukuran dan
pertimbangan-pertimbangan yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah komputerisasi dari awal hingga sekarang